Dana TKI Kabupaten Mukomuko
Dirampok Mantan Anggota DPRD


    Meskipun Peraturan Pemerintah (PP) dari nomor 37 tahun 2006 menjadi nomor 21 tahun 2007, tentang pemberian Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) sebanyak 3 kali uang representasi dan belanja penunjang operasional pimpinan (BPOP) 6 kali uang representasi yang dirapel atau dibayarkan mulai Januari 2006.

    Dari PP 21 tahun 2007 itu, yang menyatakan pemberian tunjangan berdasarkan kemampuan keuangan daerah dan tidak berlaku surut. Akan tetapi TKI dan BPOP yang memakan anggaran sekitar Rp 1,4 triliun sudah terlanjur diberikan di seluruh daerah Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu. Justru dalam PP 21 tahun 2007 itu, DPRD harus mengembalikan TKI dan BPOP yang sudah diterima sebelum berakhirnya masa jabatan.

    Ini merupakan bentuk korupsi yang di legalkan, DPRD memperoleh pinjaman tanpa bunga dari APBD yang berasal dari rakyatnya. Padahal, uang ini seharusnya dapat dialokasikan untuk kebutuhan rakyat yang lebih prioritas  ketimbang diberikan pinjaman kepada segelintir elit DPRD di daerah. Untuk itu, Koalisi Nasional Tolak PP37/2006 telah mengajukan judicial review PP ini ke Mahkamah Agung tanggal 18 Juni 2007.

    Berdasarkan hasil audit BPK semester I dan Semester II tahun 2008, tercatat potensi kerugian daerah sebesar Rp. 118,88 Milyar dari TKI dan BPOP di 99 daerah yang belum dikembalikan DPRD ke Kas Daerah karena terlanjur diberikan. Padahal, akhir masa jabatan mereka sekarang sudah berakhir.

                                                                                                                                                                                                                     Drs. Heri Masri Tanjung  

    Para anggota dewan yang terhormat nampaknya juga tidak ingin keluar dari gedung dewan dengan tangan hampa, tidak tanggung-tanggung sekitar Rp. 159,5 Milyar uang di kas daerah akan tersedot untuk membiayai dana purna bakti anggota dewan tersebut. Para anggota DPRD menggunakan PP Nomor 24/2004 sebagai dasar mereka menuntut uang jasa pengabdian yang besarnya paling tinggi 6 kali uang representasi atau setara gaji pokok Kepala Daerah untuk masa bakti 5 tahun.

    Padahal, DPRD periode sebelumnya juga menuntut hal yang sama, namun karena ketiadaan aturan, banyak parlemen daerah yang mendekap dalam tahanan akibat uang pesangon ini. Hal ini menunjukan, pasal 23 PP 24 tahun 2004 lagi-lagi melakukan legalisasi dalam merampok uang rakyat.
Angka tersebut cukup fantastis, apalagi jika melihat kinerja mayoritas anggota DPRD yang tidak jauh dari D 4: Duduk, Diam, Dengkur dan Duit. Anggota DPRD yang meminta uang jasa pengabdian mestinya bercermin dulu apakah mereka layak mendapatkan “pesangon” tersebut, mengingat kadar pengabdian mereka terhadap masyarakat juga tidak optimal.

    Pemberian uang jasa pengabdian tersebut juga harus memperhatikan kondisi keuangan daerah selain masa pengabdian, karena banyak daerah yang miskin dan tergolong minus sehingga anggaran untuk pemberian dana purna bakti tersebut lebih bermanfaat jika digunakan untuk anggaran untuk pengentasan kemiskinan.

    Satu hal lagi yang perlu diingat para anggota dewan adalah sebelum mereka menuntut uang jasa pengabdian, mereka harus terlebih dahulu mengembalikan tunjangan komunikasi intensif sesuai Surat Edaran Mendagri No 700/08/sj yang memberikan tenggang waktu paling lambat satu bulan sebelum berakhirnya masa tugas mereka untuk mengembalikan tunjangan komunikasi intensif kepada kas daerah. Namun ironisnya, untuk Ka-bupaten Mukomuko tidak jelas hingga sekarang, dana TKI tersebut nampaknya belum dikembalikan ke Kas Daerah, Hebat bukan.?


Padahal sebelumnya Dari gambaran persoalan di atas telah menyatakan sebagai berikut:
1. Meminta kepada DPRD untuk segera mengembalikan TKI dan BPOP sebelum berakhirnya masa jabatan. Jika dalam waktu satu bulan sebelum berakhir masa jabatan DPRD belum mengembalikan, Masyarakat  mendesak aparat penegak hukum untuk segera bertidak memproses anggota DPRD ke jalur hukum karena telah melakukan korupsi.
2. Mendesak Kepada MENDAGRI untuk segera merevisi pasal 23 PP 24 tahun 2004  yang mengatur uang pesangon DPRD untuk dicabut karena bentuk legalisasi korupsi.
3. Meminta Mahkamah Agung untuk segera mengumumkan hasil Judicial Review terhadap PP 21 tahun 2007 tentang Protokoler dan Kedudukan Keuangan DPRD yang diajukan oleh Koalisi Nasional Tolak PP 37/2006 pada tanggal 18 Juni 2007 dan diregister di MA dengan nomor perkara 11 P/HUM/2007 tanggal 4 juli 2007
4. Meminta kepada elemen masyarakat sipil di daerah untuk mendesak bersama anggota DPRD agar segera  mengembalikan TKI dan BPOP sebelum berakhirnya masa jabatan, termasuk mengembalikan berbagai fasilitas yang merupakan aset daerah.
Disinyalir Uang representasi apabila pesangon dibayarkan penuh yaitu 6 bulan maka dana yang dikeluarkan adalah
Untuk Ketua : Rp. 2.100.000,-/bulan X 6 X 1 =Rp 12.600.000,- Untuk Wakil Ketua : Rp. 1.680.000,-/bulan X 6 X 2 = Rp 20.160.000,- Untuk Anggota : Rp. 1.575.000,-/bulan X 6 X 23 = Rp 217.350.000,-

Potensi Kerugian Daerah Akibat Pemberlakuan PP 37/2006 untuk TKI dan BPOP Berdasarkan Hasil Audit BPK Semester I dan II Tahun 2008.
Hasil Audit Semester I Tahun 2008 untuk Kabupaten Mukomuko dana TKI yang belum dikembalikan sekitar Rp 2.590.056.000,-  sudah terjadi Korupsi berjemaah mantan anggota DPRD priode  2004 -2009 untuk Kabupaten Mukomuko mayoritas pandir semua ungkap Junaidi kepada Metro Indonesia yang harus di usut kebenarannya oleh pihak penegak hukum di Kabupaten Mukomuko itu sendiri.



Kirim Komentar Anda..!!












© 2010 Surat Kabar Metro Indonesia OnLIne. All Rights Reserved  

This free website was made using Yola.

No HTML skills required. Build your website in minutes.

Go to www.yola.com and sign up today!

Make a free website with Yola